Senin, 01 Oktober 2012

kepunyaan setiap jiwa

Percakapan di ruang makan jurusan, depan sebuah televisi yang sibuk berceloteh tapi tak ada yang peduli.
Sambil mengunyah sepotong kue keju sisa lebaran dari Ibu Professor, otak saya menerawang..

SA    : Kangen Mama ya?
NR   :  hah? apa? 
SA    : Semalem lu kangen mama ya?
NR   : Mmh.. kata siapa ih?
SA    : Mata elu sembab gitu
NR   : hahahaa.. sotoy deh lu..
SA    : alah, mata lu cindulan gitu.. -cindulan itu bahasa sundanya dari sembab-
NR   : deuh, inni sih gw begadang kerjaan, jadi sembab
SA   : alibinya terlalu lemah. udah beberapa kali gw liat lu kayak gitu. Alasan nya cuma satu : nangis kangen mama. Ngaku aja!!
NR   : hehehe..

hening sesaat melingkupi,lalu SA mengulurkan tangan untuk kemudian memeluk NR.

Fragmen kecil di sebuah kantor itu adalah cerita pagi ini. Percakapan sambil lalu antara dua orang sebaya. NR adalah akronim nama saya dan SA adalah akronim dari rekan saya.

Ya, tanpa saya sadari mata saya sdikit sembab. Mungkin saya tak akan bersusah payah mencari cermin untuk kemudian mengecek mata jika tak ada yang menyadarkan. Lalu selanjutnya, mulai mengakui tuduhan SA bahwa semalam saya memang kangen mama.

Setahun  mama 'pulang' dan tak terhitung berapa sering bantal saya basah oleh air mata. entahlah apa yang di kangeni. Mungkin terlalu banyak hingga tak bisa dirinci satu persatu. Atau bisa jadi juga, karena hanya satu hal sederhana yang  tak terduga hingga air mata itu luruh. 

Hal sederhana itu juga yang menyebabkan air mata turun tanpa diminta. Saat adik mama menyambangi lalu tetiba sesenggukan demi melihat secuil bagian milik kakak perempuannya hadir di raut muka saya. Padahal intensitas pertemuan kami -saya dan bibi saya- terhitung sering. Ah, nyata sudah jika kangen selalu hadir tanpa permisi menyapa sesiapa yang kehilangan.

Ada sebuah keinginan untuk menuntaskan rasa kangen yang teramat menyiksa. Bukan tak ingin kangen, tapi rasanya berat saja. Menyadari rasa itu kerap hadir hingga membuat rasa ketakberdayaan menjadi begitu nyata. Kebutuhan untuk menuntaskan rasa kangen itu mungkin bisa dengan cara menghubungi via telp jika rindu  singgah tanpa mengetuk. Tapi justru hal inilah yang membuat rasa tak berdaya itu makin membesar. Ketika tak ada satupun media yang bisa menjembatani rasa, dan keinginan untuk menuntaskan hal itu sekaligus. Inilah yang membuat ketidakberdayaan itu menggila hingga bermuara di isak lirih. Dan persoalan mata sembab yang dipicu oleh raasa ketidakberdayaan sering menjadi persoalan tersendiri.

Saya pernah bertanya pada seorang rekan yang usianya berbeda jauh dan tak lagi memiliki orang tua. Apakah kangen itu juga kerap menghampiri? dan jawabnya adalah : Ya, selalu ada rasa itu. terlepas setua apa umur kita, kita tetap anak dari orang tua kita. Dan kangen itu akan selalu ada, karena mereka berpadu dalam diri kita. Bagian dari mereka hadir dalam aliran darah kita, dalam setiap relung jiwa anak anaknya. Layaknya sepasang kekasih yang saling merindu belahan jiwanya saat berjauhan, maka anak anak belahan jiwa orang tua akan selalu saling merindukan. Nikmati saja, biarkan luruh di ujung sajadah, hingga menjelma doa doa yang melangit.

Ah, ternyata rasa itu milik setiap jiwa...

0 komentar:

Posting Komentar

 

Template by Web Hosting Reviews