Rabu, 11 Juli 2012

ini cuma soal perut :)

Berapa lama Anda bisa bertahan di luar kota, mengonsumsi makanan setempat, berada dalam cuaca yang berbeda dan jauh dari rumah? Hmm...pertanyaan yang aneh kan? Tapi ini yang justru selalu menggelitik di kepala.

Jika pertanyaan itu ditujukan untuk saya, maka saya memiliki dua jawaban. Jawaban pertama adalah tiga hari dan yang kedua adalah seminggu :) lho, apa bedanya? Ya, jelas beda. Untuk jawaban pertama, batas maksimum saya bertahan maksimum 3 hari berlaku saat berada di luar pulau jawa dan jawaban kedua yaitu seminggu saat berada di luar kota tetapi masih dipulau jawa :D

Kenapa bisa berbeda? ya, ini saya rasakan setelah melakukan perjalanan ke beberapa kota berbeda baik di pulau jawa ataupun diluar pulau jawa. Memang rasanya bagaimana sih?

Sebenarnya Faktor utama yang dijadikan Standar ketahanan maksimum saya adalah makanan setempat. Ya, MAKANAN :) Ini adalah faktor krusial yang terkadang menjadi faktor dominan yang mempengaruhi. Makanan ini berpengaruh pada sistem metabolisme dan ujung ujungnya adalah kondisi tubuh saya. Rumit amat sih?

Gini nih, layaknya orang yang bepergian untuk satu pekerjaan lapangan, maka perlu kondisi badan yang bugar dan salah satunya diperoleh dari makanan. Kondisi bugar ini diperlukan karena terkadang bekerja di lapangan sangat tidak bisa diprediksi. Faktor jarak dan lokasi yang terkadang jauh dari pusat keramaian menjadi hal yang sedikit sulit diajak kompromi. Jangankan makanan enak, warung nasi saja mungkin hanya bisa ditemui di kota kabupaten :) Jadi, teramat sering saya sarapan dan berbekal makanan yang dapat mengenyangkan dan tak lupa, air putih.

Nah, untuk daerah daerah di luar pulau jawa, jarak dan makanan menjadi faktor penentu. Bisa dipastikan, jika bepergian ke daerah luar pulau,jangan berharap menemukan makanan yang sesuai dengan lidah saya. Seperti kemarin saya ke satu daerah di Sumatera Barat sebagai contoh. Begitu kelimpungannya saya saat lidah dan perut  kepanasan gara gara mengonsumsi makanan bersantan sehari 3 kali selama 2 hari berturut turut. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh saya saja tapi oleh seluruh anggota tim yang berjumlah enam orang dan semuanya berasal dari tanah jawa

Pagi kami tak sempat sarapan di Hotel karena jam 6 pagi harus sudah pergi menuju lokasi yang jaraknya 4 jam perjalanan dari kota Padang. Akibatnya, kami mengisi perut di sebuah kedai di daerah pariaman yang hanya menyediakan lontong dengan kuah kental kaya rempah plus kulit sapi (saya ga hapal namanya) serta sepiring penuh gorengan berbentuk bulat sebesar ibujari yang dibuat dari ikan plus teh panas yang tak sempat saya minum karena diburu waktu. Siang dan malamnya kami makan di lapangan dengan menu yang tak jauh berbeda. Nasi dan ikan atau ayam berkuah kental dan beraroma rempah yang kuat.

Awalnya, saya mengimbangi perut yang panas karena konsumsi santan dengan meminum air putih yang banyak sepanjang perjalanan. Tapi ini tidak saya lakukan lagi setelah satu ketika tak kuat menahan  buang air kecil dan terpaksa di turunkan di pinggir sebuah perkebunan sawit karena sulitnya mencari toilet dan rumah penduduk   Saya menolak mati matian dan memaksa diri menahan keinginan buang air kecil  itu hingga sampai ke kota kabupaten terdekat.

Jadi, selama 2.5  hari itu saya mengkonsumsi makanan kaya santan, dan minum air putih seadanya. Dan ketika saya sudah tidak kuat menahan perut panas yang akibatnya buang air besar tidak lancar, saya mencari kedai fast food. Tapi itupun tak membantu banyak.

Ketika  saya tiba kembali di rumah, bibir saya pecah pecah, sariawan dan yang parahnya, saya tak bisa 'pup'

Berbeda dengan kondisi jika saya bertugas di kota yang terletak di pulau jawa. Makanan yang dikonsumsi relatif tak jauh berbeda. Saya tak kesulitan menemukan sayur  bayam, soto bening, atau tumis yang biasa saya konsumsi. Mungkin yang sedikit membedakan hanya soal rasa dan ini pun tidak pernah saya pusingkan karena saya sendiri belum pandai memasak, jadi tidak boleh mengeluh :)

Dan selama beberapa kali bertugas di Sumatera Barat, saya merasa kesulitan mencari warung nasi tegal (warteg) atau entah karena saya yang ga tahu ya? :) Karena berbeda dengan di Sulawesi atau pun Kalimantan, beberapa kali saya makan di warteg yang notabene pemiliknya orang jawa. Nah, kalo di Sumatera ini, yang saya temui justru sebuah jongko Surabi Asli Bandung dan itupun hanya satu :)

Jadi,menurut saya ini adalah peluang bisnis yang harus disikapi serius. Yaitu, membuka warung nasi sunda di sumatera barat  


2 komentar:

Prita Kusumaningsih mengatakan...

sama dengan yang dialami oleh relawan Bulan Sabit Merah Indonesia saat gempa sumbar. Bikin RS lapangan di Pariaman selama 3 bulan. Baru seminggu mereka sudah pada teriak2 ke (master of) chef di dapur minta "yang bening" dan "yang segar". He..he..
Tapi kalau di Indonesia Timur justru ada warung pecel lele, bakso, soto, dll, karena banyak penjual/pedagang makanan asal Jowo .
Terimakasih atas undangan pertemanannya ya. Semoga bisa saling memberi manfaat, dan selamat menjalakan ibadah shaum Ramadhan

Aunty Zia mengatakan...

iya ibu, yang bening dan yang segar itu memang menyehatkan :). iya bu, betul. Di Makasar atau Papua sekalipun saya masih bisa menemukan bakso dan soto. Di Kota Padang sebenarnya ada satu restoran masakan sunda, tapi masa iya sih makan sehari 3x di restoran? bisa jebol kantong saya :p.

Saya yang berterimakasih karena ibu mau menerima saya sebagai teman. Amin, selamat menjalankan ibadah shaum juga untuk ibu :)

Posting Komentar

 

Template by Web Hosting Reviews